Thursday, May 20, 2010

Guru masa depan oleh Isjoni Dekan di FKIP Universitas Riau

GURU MASA DEPAN Bangsa kita, masyarakat kita, sangat membutuhkan para guru-guru yang mampu mengangkat citra dan marwah pendidikan kita yang terkesan sudah carum marut, dan seperti benang kusut. Sehingga bagaimana harus dimulai, kapan dan siapa yang memulainya, dan dari mana harus dimulai.

Kalaulah kita masing-masing menyadari, dan kalaulah kita masih memiliki rasa keperdulian, dan kalaulah kita mau berbagi rasa, dan kalaulah mau kita berteposeliro, maka pendidikan kita seperti disebutkan di atas, akan dapat dianulir. Oleh sebab itu semua kita memiliki satu persepsi, satu langkah dan satu tujuan bagaimana kita berusaha mengangkat "batang terendam" tersebut, menjadi pendidikan bermutu, dan tentunya diharapkan mampu untuk mengangkat peringkat dan citra pendidikan termasuk terendah di Asia.

Satu hal yang akan menjadi titik perhatian kita adalah "bagaimana merancang guru masa depan". Guru masa depan adalah guru yang memiliki kemampuan, dan ketrampilan bagaimana dapat menciptakan hasil pembelajaran secara optimal, selanjutnya memiliki kepekaan di dalam membaca tanda-tanda zaman, serta memiliki wawasan intelektual dan berpikiran maju, tidak pernah merasa puas dengan ilmu yang ada padanya.

Bagaimana sebenarnya guru masa depan seperti yang diidamkan oleh banyak pihak, diantaranya adalah:
  1. Planner, artinya guru memiliki program kerja pribadi yang jelas, program kerja tersebut tidak hanya berupa program rutin, misalnya menyiapkan seperangkat dokumen pembelajaran seperti Program Semester, Satuan Pelajaran, LKS, dan sebagainya. Akan tetapi guru harus merencanakan bagaimana setiap pembelajaran yang dilakukan berhasil maksimal, dan tentunya apa dan bagaimana rencana yang dilakukan, dan sudah terprogram secara baik;
  2. Inovator, artinya memiliki kemauan untuk melakukan pembaharuan dan pembaharuan dimaksud berkenaan dengan pola pembelajaran, termasuk di dalamnya metode mengajar, media pembelajaran, system dan alat evaluasi, serta nurturant effect lainnya. Secara individu maupun bersama-sama mampu untuk merubah pola lama, yang selama ini tidak memberikan hasil maksimal, dengan merubah kepada pola baru pembelajaran, maka akan berdampak kepada hasil yang lebih maksimal;
  3. Motivator, artinya guru masa depan mampu memiliki motivasi untuk terus belajar dan belajar, dan tentunya juga akan memberikan motivasi kepada anak didik untuk belajar dan terus belajar sebagaimana dicontohkan oleh gurunya;
  4. Capable personal, maksudnya guru diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan dan ketrampilan serta sikap yang lebih mantap dan memadai sehinga mampu mengola proses pembelajaran secara efektif;
  5. Developer, artinya guru mau untuk terus mengembangkan diri, dan tentunya mau pula menularkan kemampuan dan keterampilan kepada anak didiknya dan untuk semua orang. Guru masa depan haus akan menimba ketrampilan, dan bersikap peka terhadap perkembangan IPTEKS, misalnya mampu dan terampil mendayagunakan computer, internet, dan berbagai model pembelajaran multi media.
Jadi, guru masa depan adalah guru bertindak sebagai fasilitator; pelindung; pembimbing dan punya figur yang baik (disiplin, loyal, bertanggung jawab, kreatif, melayani sesuai dengan visi, misi yang diinginkan sekolah); termotivasi menyediakan pengalaman belajar bermakna untuk mengalami perubahan belajar berdasarkan keterampilan yang dimiliki siswa dengan berfokus menjadikan kelas yang konduktif secara intelektual fisik dan sosial untuk belajar; menguasai materi, kelas, dan teknologi; punya sikap berciri khas "The Habits for Highly Effective People" dan "Quantum Teaching" serta pendekatan humanis terhadap siswa; Guru menguasai komputer, bahasa, dan psikologi mengajar untuk diterapkan di kelas secara proporsional. Diberlakukan skema rewards dan penegakan disiplin yang humanis terhadap guru dan karyawan.

Guru masa depan juga memiliki kemampuan untuk mengembangkan kemampuan para siswanya melalui pemahaman, keaktifan, pembelajaran sesuai kemajuan zaman dengan mengembangkan keterampilan hidup agar siswa memiliki sikap kemandirian, perilaku adaptif, koperatif, kompetitif dalam menghadapi tantangan, tuntutan kehidupan sehari-hari. Secara efektif menunjukkan motivasi, percaya diri serta mampu mandiri dan dapat bekerja sama. Selain itu guru masa depan juga dapat menumbuhkembangkan sikap, disiplin, bertanggung jawab, memiliki etika moral, dan memiliki sikap kepedulian yang tinggi, dan memupuk kemampuan otodidak anak didik, memberikan reward ataupun apresiasi terhadap siswa agar mereka bangga akan sekolahnya dan terdidik juga untuk mau menghargai orang lain baik pendapat maupun prestasinya. Kerendahan hati juga perlu dipupuk agar tidak terlalu overmotivated sehingga menjadi congkak. Diberikan pelatihan berpikir kritis dan strategi belajar dengan manajemen waktu yang sesuai serta pelatihan cara mengendalikan emosi agar IQ, EQ dan ke dewasaan sosial siswa ber imbang.

Selain itu, guru masa depan juga harus memiliki keterampilan dasar pembelajaran, kualifikasi keilmuannya juga optimal, performance di dalam kelas maupun luar kelas tidak diragukan. Tentunya sebagai guru masa depan bangga dengan profesinya, dan akan tetap setia menjunjung tinggi kode etik profesinya.

Oleh sebab itu, untuk menjadi guru masa depan diperlukan kualifikasi khusus, dan barangkali tidak akan terlepas dari relung hati dan sanubarinya, bahwa mereka memilih profesi guru sebagai pilihan utama dan pertama. Weternik memberikan dengan istilah rouping atau "pangilan hati nurani" Rouping inilah yang merupakan dasar bagi seseorang guru untuk menyebutkan dirinya sebagai "GURU MASA DEPAN". Semoga.

7 kiat Menjadi Guru Depan yang sukses


Apakah saya sudah layak dikatakan sebagai guru yang baik? Kebiasaan sukses seperti apa yang harus saya lakukan agar dapat menjadi guru yang baik? Pertanyaan kritis yang layak sekali dialamatkan kepada figur para pejuang pendidikan ditengah maraknya pergulatan kehidupan yang semakin kompleks.
Tanpa disadari, dunia telah bergerak dengan sangat cepat. Revolusi teknologi informasi menjadi ciri utama yang sangat mudah untuk diidentifikasi. Dunia pendidikan pun harus ikut pula merasakan dampaknya. Apakah guru sebagai pelaku pendidikan telah merasakan perubahan hebat yang terjadi di lingkungan sekitarnya?
Memahami kurikulum, mendesain metode pembelajaran yang aktif dan bermakna bagi siswa, mendesain bahan ajar, mengembangkan penilaian berbasis kelas, dan melakukan pembelajaran berbasis Information and Communication Technology (ICT) adalah salah satu dari sekian banyak agenda penting guru di era kompetisi global dewasa ini. Lebih dari itu, guru pun dituntut untuk dapat mempertanggungjawabkan segala kompetensi profesionalismenya kepada stakeholders pendidikan. Hanya ada dua pilihan bagi guru untuk merespons kenyataan ini, terus maju mengembangkan diri atau mundur perlahan tertelan banyaknya tuntutan.
Tulisan ini merupakan sebuah refleksi dan renungan bagi guru-guru yang memiliki pengharapan untuk memperbaiki diri menyongsong kehidupan masa depan yang lebih baik. 7 kebiasaan sukses adalah panduan penting bagi guru masa depan yang ingin melakukan suksesi manajemen diri. 7 kebiasaan sukses yang dapat dikembangkan guru, di antaranya:
1. Menjadi Pembelajar Sejati
Ubahlah paradigma bahwa guru berperan sebagai penyiram tanaman daripada sebagai penuang air. Anggaplah siswa sebagai tanaman yang memiliki potensi untuk tumbuh sendiri, daripada sebagai sebuah gelas kosong yang hanya dapat penuh bila ada yang mengisi. Artinya, guru harus mampu mengubah paradigma pembelajaran yang tadinya menjadikan siswa sebagai objek pembelajaran, bergeser pada paradigma siswa sebagai subjek dalam pembelajaran. Ketika paradigma ini telah terbangun, situasi pembelajaran yang aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan berpeluang besar untuk dapat dikembangkan di ruangan kelas. Guru memandang sekolah sebagai tempat belajar untuk menjadi lebih profesional, sekaligus mengembangkan kemampuannya menjadi lebih baik.
2. Menjadi Sales Konten Materi Pelajaran
Pernahkah kita menemui siswa kita yang bersikap acuh tak acuh dengan pembelajaran yang kita bawakan? Jangan salahkan siswa kita dulu, cek kembali sikap apa yang Anda tampilkan ketika memulai pembelajaran?
Apakah Anda tampak loyo dihadapan siswa Anda? Apakah Anda mampu meyakinkan siswa Anda akan manfaat yang mereka dapatkan ketika mengikuti pembelajaran dengan baik? Apakah Anda mampu menghadirkan suasana entertainment dalam pembelajaran Anda yang bernilai edukasi?
Hari ini, guru harus mampu memenangkan ‘hati’ siswanya. Guru harus mampu menjelaskan apa manfaat sekolah bagi siswa, apa manfaat belajar bagi masa depan mereka kelak. Guru harus mampu menjual ‘manfaat’ mempelajari konten materi pelajaran dengan antusias, menghadirkan suasana kontekstual antara materi pelajaran dan dunia anak. Seorang guru yang baik adalah juga seorang sales konten materi pelajaran yang baik.
3. Menggunakan Beragam Gaya Mengajar
Tidak ada satu pun gaya mengajar yang paling baik. Memilih dan menggunakan gaya mengajar yang tepat sesuai kebutuhan dalam pembelajaran adalah tindakan bijak yang harus dilakukan. Saat ini, ada banyak temuan tentang kinerja otak yang dapat digunakan dalam pembelajaran, ada banyak model dan pendekatan pembelajaran yang telah melewati proses pengkajian yang harus dicerna, kalau pun mungkin diterapkan dalam upaya memperbaiki kualitas pembelajaran di kelas.
Bayangkan jika orang tua siswa ingin menyaksikan langsung bagaimana situasi pembelajaran di kelas Anda, apakah Anda siap menunjukkan penampilan terbaik Anda di kelas?
4. Membangun Relasi dengan Orang Tua Siswa
Dalam kajiannya, Veenman (1984), mengklasifikasi 5 masalah utama yang dihadapi guru baru dalam melakukan kinerjanya, yaitu: (1) Classroom Discipline, (2) Motivating Students, (3) Dealing with Individual Differences, (4) Assessing Students’ Work, (5) Relations with Parents.
Membangun relasi dengan orang tua siswa, bagi seorang guru tanpa kecuali, merupakan permasalahan pelik yang mesti dicarikan solusinya. Permasalahan itu dapat tergambar dari ungkapan salah satu guru di Amerika Serikat berikut.
As a beginning teacher, I had no idea what my students brought with them to class–if they worked at a job, if they collected stamps, or if there was a divorce going on at home. The word “family” was not mentioned. I knew nothing about their lives outside of school, except if by some happenstance someone mentioned it casually. Today, we know better. Major research studies indicate that readiness for learning, all through the grades, begins at home and that we’ve got to enlist all families as real partners in the education of their children.
As a good teacher today, my work would be to build a bridge — connection between school and home so that information, ideas, and people move freely from one place to the other. The “hidden curriculum” of the home and community is not hidden anymore”.
5. Rajin Mengikuti Kegiatan In-Service Training
Prof. Masaki Sato (2007) menjelaskan adanya kelemahan besar dari Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan dalam menghasilkan tenaga guru.
Pertama, kuliah yang diberikan di kampus difokuskan pada transfer pengetahuan (transfer of knowledge) keilmuan suatu disiplin ilmu, sedangkan pengetahuan praktis untuk meningkatkan keilmuan dan kompetensi guru dalam mengajar pada kenyataannya tidak pernah diajarkan
Kedua, seorang dosen di universitas, secara umum, mengajarkan suatu disiplin ilmu tidak berdasarkan situasi dan kondisi di sekolah. Apa pun jenis teorinya tidak akan pernah diketahui kebenarannya jika tidak diujikan
Ketiga, pengetahuan mengenai pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus “learning disorder” (anak yang memiliki kesulitan belajar) harus dipraktikkan di lapangan (ruang kelas). Dengan banyak berinteraksi dengan lingkungan sekolah, kita akan banyak bertemu dengan anak-anak berkebutuhan khusus dalam belajar. Mereka membutuhkan bimbingan untuk menentukan penanganan secara nyata yang tepat berdasarkan hasil penelitian atau keilmuan.
Semua guru, baik dari lulusan LPTK maupun Non-LPTK, harus memiliki sikap mau belajar. Konsekuensinya, guru harus mau dan mampu menggali banyak informasi di luar jam kerjanya untuk meningkatkan interpersonal skill, communication skill, teaching skill, dan keterampilan lainnya yang relevan dengan kinerja profesionalisme sebagai guru. Mengagendakan diri secara rutin dalam mengikuti kegiatan pengembangan diri melalui In-Service Training merupakan salah satu alternatif solusi untuk dapat mengikuti perkembangan terkini di dunia pendidikan.
6. Melakukan Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Siapa yang dapat mengetahui kekurangan kita dalam mengajar? Bagaimana cara kita memperbaiki kekurangan mengajar kita di kelas? Penelitian Tindakan Kelas adalah salah satu cara untuk menganalisis tugas mengajar kita di kelas. Fokus PTK adalah untuk menyelesaikan berbagai masalah yang kita hadapi dalam mewujudkan situasi pembelajaran efektif. Pada dasarnya, masalah merupakan kesenjangan antara kenyataan dan keadaan yang diinginkan.
PTK sendiri dilakukan untuk mengubah perilaku sendiri dan perilaku siswa, mengubah kerangka kerja proses pembelajaran, yang pada akhirnya berdampak pada perubahan pada perilaku diri sendiri dan siswa dalam konteks pembelajaran.
Cohen & Manion (1980) menyatakan ada 7 fokus bidang garapan dalam PTK, yaitu: (1) metode mengajar, (2) strategi belajar, (3) prosedur evaluasi, (4) penanaman atau perubahan sikap dan nilai, mendorong sikap yang lebih positif terhadap beberapa aspek kehidupan, (5) pengembangan profesional guru (meningkatkan keterampilan mengajar, mengembangkan metode mengajar yang baru, menambah kemampuan analisis, atau meningkatkan kesadaran diri), (6) pengelolaan & kontrol pada teknik modifikasi perilaku, dan (7) administrasi (menambah efisiensi aspek tertentu dari administrasi sekolah).
PTK merupakan salah satu bentuk pertanggungjawaban guru terhadap kinerjanya. Selain untuk kepentingan evaluasi yang komunikatif, data dan fakta yang dihasilkan dari kegiatan PTK dapat dijadikan referensi bagi guru untuk menulis di media masa maupun untuk disharing di komunitas guru yang lebih besar (KKG, MGMP, dsb). Harapannya, temuan-temuan yang dihasilkan dari kegiatan PTK dapat berdampak lebih besar bagi pengembangan pendidikan dalam skala luas.
7. Menginspirasi Siswa dengan METAFORA
Metafora adalah memaparkan cerita tentang hakikat kesuksesan, perumpamaan-perumpamaan mengenai suatu bentuk kehidupan yang notabene akan siswa hadapi kelak, simulasi, atau pun kisah-kisah berbagai orang sukses dalam hidupnya.
Tanpa kita sadari, selama ini kita terlalu berfokus pada konten materi pelajaran, tetapi kita tidak mampu menghadirkan dan menggali makna kehidupan dari materi yang kita bawakan. Apakah pernah ketika mengajar materi matematika, misalnya, kita juga berupaya menggali dan memaknai arti penting bersikap jujur, bersinergi dengan orang lain, bekerja keras, berpikir sistematis dan cermat melalui materi yang dihadirkan dalam situasi pembelajaran?
Metafora yang disajikan dalam pembelajaran, baik di awal, tengah, maupun akhir pembelajaran sangat penting untuk meningkatkan motivasi siswa dalam belajar.
Dari perasaan benci, berganti menjadi suka. Dari perasaan bosan berubah menjadi berminat. Dari menjenuhkan menjadi menyenangkan. Dari perasaan tak butuh, setahap demi setahap menjadi penasaran, berkeinginan, dan membutuhkan materi pelajaran yang kita berikan. Seorang pengajar yang baik tidak hanya dapat menjelaskan dan mendemonstrasikan materi pembelajaran, akan tetapi dia dapat menginspirasi siswa untuk melakukan yang terbaik dalam kehidupannya.
Good teacher explains, superior teacher demonstrates, excellent teacher inspires.(Asep Sapa’at/Trainer Makmal Pendidikan)

disadur dari : www.sahabatguru.wordpress.com

Sunday, May 16, 2010

soft competency & hard competency siswa SMK

Perbedaan antara Softskill dan Hardskill ?

Wikipedia menuliskan pengertian Soft Skill dan Hard Skill sebagai berikut:

Soft skills is a sociological term which refers to the cluster of personality traits, social graces, facility with language, personal habits, friendliness, and optimism that mark people to varying degrees. Soft skills complement hard skills, which are the technical requirements of a job.

sementara untuk pengertian hardskill atau sebagai orang menyebutnya Hard Competence sebagai berikut :

The hard competence referring to job-specific abilities, and relevance will be about specific knowledge relating to “up to date” systems.

Dari pengertian antara softkill dan hardskill dapat kita menyimpulkan :

Setiap profesi profesi dituntut untuk memiliki hardskill yang khusus, tetapi softkill bisa merupakan kemampuan yang harus dimiliki setiap profesi.

Apa hubungan Softkill, Hardskill dengan sekolah atau kuliah ?

Bukan berarti bahwa sekolah atau kuliah menjadi tidak penting. Namun, keseimbangan dari pertumbuhan hardskill dan softskill akan membuat Anda mengalami sukses lebih cepat dan lebih jauh dari kesuksesan yang hanya ditunjang oleh salah satu faktor tersebut. Perpaduan antara hardskill dan softskill sangat diperlukan untuk meraih jenjang karir yang tinggi atau memperluas bisnis di masa depan.

Why Softkill?

You are about to enter, the real world

Banyak lulusan dari perguruan tinggi baik itu negeri dan swasta yang tidak siap menghadapi dunia nyata atau dunia kerja. Persaingan yang ketat kita di tuntut untuk memiliki kemampuan yang lebih bukan hanya kemampuan Hardskill (nilai IPK yang tinggi) tetapi kita dituntut untuk memiliki sebuah kompetensi seorang lulusan.

Berikut ini kompetentsi lulusan yang harus dimiliki dalam menghadapi persaingan di dunia nyata :
  1. Komunikasi tertulis
  2. Bekerja dalam tim
  3. Teknologi
  4. Berpikir logis
  5. Berkomunikasi lisan
  6. Bekerja mandiri
  7. Ilmu pengetahuan
  8. Berpikir analitis
Kemampuan-kemampuan di atas sebenarnya kita bisa dapatkan semasa sekolah, kuliah. Organisasilah yang bisa membentuk seseorang bisa memiliki kemampuan-kemampuan di atas, apakah anda memiliki kemampuan-kemampuan tersebut ? Belajar dan belajar itulah jawabannya dan yang paling penting percaya pada kata “PROSES”.
Sebagai siswa SMK, bagaimana menyatukan kedua hal tersebut, karena dunia kerja sekarang. Dunia kerja percaya bahwa sumber daya manusia yang unggul adalah mereka yang tidak hanya memiliki kemahiran hard skill saja tetapi juga piawai dalam aspek soft skillnya. Keseimbangan antara hard skill dan soft skill diperlukan untuk menghadapi dunia kerja kelak. Dalam dunia kerja tidak hanya dibutuhkan kepandaian dan kemampuan untuk menyelesaikan tugas tetapi seseorang juga dituntut untuk mampu melakukan suatu manajemen baik pada dirinya maupun manajemen dalam tim. Hal tersebut diperkuat oleh hasil survey pada mahasiswa Harvard University Amerika Serikat, kemampuan hard skill seseorang hanya 20% sedangkan sisanya sebesar 80% dipengaruhi oleh soft skill.
Menurut hasil survey tersebut, jelas semakin terlihat bahwa kesuksesan seseorang dipengaruhi oleh soft skill yang dimiliki. Sebenarnya konsep tentang soft skill ini merupakan pengembangan dari konsep kecerdasan emosional (emotional intelligence). Soft skill dapat diartikan sebagai kemampuan diluar kemampuan teknis dan akademis yang lebih mengutamakan kemampuan intrapersonal dan interpersonal.
Nah ayo, Bagaimana dengan kamu?

Saturday, May 1, 2010

Guru Bahasa Jawa Karbitan Oleh Sucipto Hadi Purnomo

ADA yang menarik dari peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional, 21/2/06 lalu. Beberapa mahasiswa yang mengatasnamakan Forum Mahasiswa Peduli SK Gubernur No 895.5/01/2005 menggelar laku pepe di depan halaman Kantor Gubernur Jawa Tengah (SM, 22/2/2006). Kemenarikan bukan semata pada formula aksi tersebut yang ''serba-Jawa'' hingga mampu membetot perhatian publik, melainkan -yang jauh lebih substansial- desakan yang mereka suarakan.

''Bagaimana mungkin mereka yang tidak memiliki disiplin ilmu pendidikan bahasa Jawa, cukup dengan ikut penataran, pelatihan, atau apa pun namanya selama satu-dua bulan justru kemudian diberi SIM untuk mengajarkan bahasa Jawa di SMA, sedangkan kami butuh waktu paling tidak empat tahun untuk mendapatkan SIM itu,'' kata Rhobi Sani, mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa salah sebuah universitas negeri di Semarang, saat aksi tersebut.

Pernyataan Rhobi seakan-akan menandaskan kegelisahan rekan-rekannya, yang notabene paling berhak menjadi calon guru bahasa Jawa di SMA, atas pengarbitan yang sudah, sedang, dan (mungkin) akan terus dijalankan untuk menahbiskan ratusan orang agar bisa dianggap memiliki kelayakberhakan sebagai guru bahasa Jawa.

Disebut pengarbitan, karena hanya dalam tempo satu-dua bulan, bahkan satu-dua minggu (!), lewat penataran, pelatihan, bimbingan teknis, dan entah apa lagi namanya, seseorang bisa tiba-tiba diberi semacam SIM untuk mengajarkan bahasa Jawa.

Kebutuhan Mendesak

Sekadar catatan, SK Gubernur No 895.5/01/2005 memuat ketetapan bahwa mata pelajaran bahasa Jawa wajib dilaksanakan di semua SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTs,dan SMA/SMALB/SMK/MA baik negeri maupun swasta di Jawa Tengah. Ketetapan yang dikeluarkan pada 23 Februari 2005 silam itu berlaku mulai tahun pelajaran 2004/2005. Karena pelajaran bahasa Jawa di SMA merupakan hal baru, implikasinya, dibutuhkan segera ribuan guru bahasa Jawa yang profesional untuk jenjang SMA, di samping penyediaan buku teks/pegangan siswa yang bermutu.

Dengan adanya guru mata pelajaran ini yang profesional, bukan ''kucing-kucing rembes diraupi'', suasana pembelajaran yang hidup dan kondusif sangat mungkin tercipta. Hanya dengan buku teks dan penunjang yang bermutu, bukannya lembar kerja siswa (LKS) yang telah menjelma sebagai lembar kesengsaraan siswa, para subjek didik akan terbantu. Bukan malah terjerumuskan dalam lubang kekeliruan.

Dibandingkan dengan penyediaan buku, pemenuhan kebutuhan akan guru bahasa Jawalah yang selama ini dianggap lebih memiliki daya pikat sehingga lebih kerap diperbincangkan. Maklumlah, ketika ''pemproyekan'' pengadaan buku kini tak lagi bisa dilakukan secara leluasa menyusul beberapa kasus yang berujung pada sidang di pengadilan, pada pengadaan guru itu justru peluang ''proyek'' masih ada, terbuka lebar, dan relatif lebih ''aman''.

Maka digembar-gemborkanlah tentang segera dibutuhkannya beribu-ribu guru bahasa Jawa untuk mengajar di SMA. Seakan-akan tak mau ketinggalan untuk nunut kamukten, beberapa universitas/IKIP yang memiliki program studi pendidikan bahasa Jawa pun menambah kuota dalam perekrutan mahasiswa. Kelas-kelas paralel dibuka. Mahasiswa yang tak lolos lewat seleksi penerimaan mahasiswa berdasarkan prestasi (SPMP) ditampung. Bahkan beberapa IKIP/universitas swasta yang sebelumnya tak memiliki program studi tersebut, dengan kekuatan hukum yang masih samar-samar, tak mau ketinggalan dengan membuka program studi pendidikan bahasa Jawa.

Anehnya, meski tak jelas benar SK pembukaannya bahkan tak memiliki satu pun dosen berdisiplin ilmu (pendidikan) bahasa dan sastra Jawa, sebuah PTS kebanjiran calon mahasiswa yang hendak mendaftarkan diri. Sebuah kalkulasi bisnis pendidikan yang benar-benar jitu!

Pepesan Kosong

Benarkah berlakunya pelajaran bahasa Jawa di SMA dan sederajat berarti masa depan yang cerah bagi para mahasiswa program studi bahasa dan sastra Jawa? Jawabannya bisa ''ya'', bisa ''tidak''. ''Ya'' jika pemangku kewenangan mengawal dan menjalankan SK Gubernur tersebut dengan benar. Terutama benar dalam pengadaan dan perekrutan guru dengan mengedepankan prinsip profesionalitas.

Namun mencermati beberapa langkah yang diambil selama satu tahun terakhir ini, mau tak mau mereka dibuat jadi pesimistis. Betapa tidak, hanya beberapa wali kota/bupati yang tampak sungguh-sungguh menyambut dan melaksanakan kebijakan baru itu. Lihat saja dalam perekrutan calon pegawai negeri (CPNS) bidang kependidikan yang sedang berlangsung, hanya beberapa kota/kabupaten yang menyediakan formasi guru bahasa Jawa di SMA.

Benarlah yang pernah dikatakan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (kala itu) Drs Suwilan Wisnu Yuwono MM bahwa pelaksanaan SK Gubernur tersebut akan banyak bergantung juga pada kearifan ''bendara-bendara'' di kabupaten/kota.

Tentu saja aneka apologi bisa dibuat. Misalnya tentang kuota yang terbatas. Ada juga alasan sudah adanya guru bahasa Jawa untuk jenjang tersebut yang diambilkan dari guru apa saja asalkan mau dan lumayan teteh berbahasa Jawa, toh mereka sudah dikarbit menjadi guru bahasa Jawa.

Jika alasan kedua yang benar-benar dijadikan sebagai pijakan, bagi mereka yang bertahun-tahun dipersiapkan sebagai guru bahasa Jawa, harapan yang membuncah selama ini tak lebih dari pepesan kosong belaka. Sebuah ironi besar jika yang terlibat dalam pengarbitan itu justru mereka yang selama ini dengan bersusah payah mendidik mahasiswa selama bertahun-tahun atas dasar standar kompetensi yang akuntabel.

Kolaborasi akademisi dengan birokrat pendidikan itu bukan saja menutup peluang mahasiswa didikannya, tetapi sekaligus melecehkan kebanggaannya sendiri: membelajarkan mahasiswa secara regulatif yang memiliki akuntabilitas akademik.

Di sinilah, teguran simpatik yang disuarakan para mahasiswa lewat laku pepe menemukan ruang pembenaran.

Sungguh tak ada lagi yang bisa diharapkan jika pengajaran bahasa Jawa justru ditegakkan dengan lembar kerja siswa yang jauh di bawah standar buku teks yang baik dan disajikan oleh guru yang tidak berkompeten.

Bisa dipastikan, pembelajaran yang tergelar adalah pembelajaran yang miskin visi, tidak menarik, dan membosankan. Itu artinya sama saja dengan membunuh bahasa Jawa di depan generasi muda!

Di tangan guru-guru karbitan yang bisa dipastikan tidak berkompeten, kita tinggal menunggu matinya bahasa Jawa di depan generasi muda. Para pemangku kewenangan pelajaran bahasa Jawa semestinya mendorong dan ikut menjalankan SK Gubernur tersebut dengan baik dan benar. Bukan malah menjadikannya sebagai ajang untuk membuat ''proyek'' asal untung. Teganya!

Namun tiada kata terlambat untuk mengembalikan pelaksanaan SK Gubernur tersebut ''pada jalan yang benar''. Lebih baik ''alon-alon waton' daripada ''kebat kliwat, gancang pincang''. Lebih baik membuat kelas-kelas model lebih dahulu ketimbang melakukan massalisasi. Lebih baik memanfaatkan para ahli madya (lulusan D3) pendidikan bahasa Jawa yang belum terangkat seraya menanti lulusan baru daripada menggunakan mereka yang belum jelas kemampuannya.

Kiranya pesan yang disampaikan para mahasiswa lewat laku pepe bisa dijadikan peringatan bagi pemangku kewenangan pelajaran bahasa Jawa. Jika tetap saja peringatan itu dianggap sebagai angin lalu, bukan tidak mungkin penolakan demi penokan akan kian membesar. (11)

-Sucipto Hadi Purnomo, dosen Pendidikan Bahasa Jawa FBS Unnes dan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan

Inilah Aku

Tinggalkanlah kesenangan yang menghalangi pencapaian kecemerlangan hidup yang diidamkan. Dan berhati-hatilah, karena beberapa kesenangan adalah cara gembira menuju kegagalan..

~ Mario Teguh