Saturday, May 1, 2010

Guru Bahasa Jawa Karbitan Oleh Sucipto Hadi Purnomo

ADA yang menarik dari peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional, 21/2/06 lalu. Beberapa mahasiswa yang mengatasnamakan Forum Mahasiswa Peduli SK Gubernur No 895.5/01/2005 menggelar laku pepe di depan halaman Kantor Gubernur Jawa Tengah (SM, 22/2/2006). Kemenarikan bukan semata pada formula aksi tersebut yang ''serba-Jawa'' hingga mampu membetot perhatian publik, melainkan -yang jauh lebih substansial- desakan yang mereka suarakan.

''Bagaimana mungkin mereka yang tidak memiliki disiplin ilmu pendidikan bahasa Jawa, cukup dengan ikut penataran, pelatihan, atau apa pun namanya selama satu-dua bulan justru kemudian diberi SIM untuk mengajarkan bahasa Jawa di SMA, sedangkan kami butuh waktu paling tidak empat tahun untuk mendapatkan SIM itu,'' kata Rhobi Sani, mahasiswa Pendidikan Bahasa Jawa salah sebuah universitas negeri di Semarang, saat aksi tersebut.

Pernyataan Rhobi seakan-akan menandaskan kegelisahan rekan-rekannya, yang notabene paling berhak menjadi calon guru bahasa Jawa di SMA, atas pengarbitan yang sudah, sedang, dan (mungkin) akan terus dijalankan untuk menahbiskan ratusan orang agar bisa dianggap memiliki kelayakberhakan sebagai guru bahasa Jawa.

Disebut pengarbitan, karena hanya dalam tempo satu-dua bulan, bahkan satu-dua minggu (!), lewat penataran, pelatihan, bimbingan teknis, dan entah apa lagi namanya, seseorang bisa tiba-tiba diberi semacam SIM untuk mengajarkan bahasa Jawa.

Kebutuhan Mendesak

Sekadar catatan, SK Gubernur No 895.5/01/2005 memuat ketetapan bahwa mata pelajaran bahasa Jawa wajib dilaksanakan di semua SD/SDLB/MI, SMP/SMPLB/MTs,dan SMA/SMALB/SMK/MA baik negeri maupun swasta di Jawa Tengah. Ketetapan yang dikeluarkan pada 23 Februari 2005 silam itu berlaku mulai tahun pelajaran 2004/2005. Karena pelajaran bahasa Jawa di SMA merupakan hal baru, implikasinya, dibutuhkan segera ribuan guru bahasa Jawa yang profesional untuk jenjang SMA, di samping penyediaan buku teks/pegangan siswa yang bermutu.

Dengan adanya guru mata pelajaran ini yang profesional, bukan ''kucing-kucing rembes diraupi'', suasana pembelajaran yang hidup dan kondusif sangat mungkin tercipta. Hanya dengan buku teks dan penunjang yang bermutu, bukannya lembar kerja siswa (LKS) yang telah menjelma sebagai lembar kesengsaraan siswa, para subjek didik akan terbantu. Bukan malah terjerumuskan dalam lubang kekeliruan.

Dibandingkan dengan penyediaan buku, pemenuhan kebutuhan akan guru bahasa Jawalah yang selama ini dianggap lebih memiliki daya pikat sehingga lebih kerap diperbincangkan. Maklumlah, ketika ''pemproyekan'' pengadaan buku kini tak lagi bisa dilakukan secara leluasa menyusul beberapa kasus yang berujung pada sidang di pengadilan, pada pengadaan guru itu justru peluang ''proyek'' masih ada, terbuka lebar, dan relatif lebih ''aman''.

Maka digembar-gemborkanlah tentang segera dibutuhkannya beribu-ribu guru bahasa Jawa untuk mengajar di SMA. Seakan-akan tak mau ketinggalan untuk nunut kamukten, beberapa universitas/IKIP yang memiliki program studi pendidikan bahasa Jawa pun menambah kuota dalam perekrutan mahasiswa. Kelas-kelas paralel dibuka. Mahasiswa yang tak lolos lewat seleksi penerimaan mahasiswa berdasarkan prestasi (SPMP) ditampung. Bahkan beberapa IKIP/universitas swasta yang sebelumnya tak memiliki program studi tersebut, dengan kekuatan hukum yang masih samar-samar, tak mau ketinggalan dengan membuka program studi pendidikan bahasa Jawa.

Anehnya, meski tak jelas benar SK pembukaannya bahkan tak memiliki satu pun dosen berdisiplin ilmu (pendidikan) bahasa dan sastra Jawa, sebuah PTS kebanjiran calon mahasiswa yang hendak mendaftarkan diri. Sebuah kalkulasi bisnis pendidikan yang benar-benar jitu!

Pepesan Kosong

Benarkah berlakunya pelajaran bahasa Jawa di SMA dan sederajat berarti masa depan yang cerah bagi para mahasiswa program studi bahasa dan sastra Jawa? Jawabannya bisa ''ya'', bisa ''tidak''. ''Ya'' jika pemangku kewenangan mengawal dan menjalankan SK Gubernur tersebut dengan benar. Terutama benar dalam pengadaan dan perekrutan guru dengan mengedepankan prinsip profesionalitas.

Namun mencermati beberapa langkah yang diambil selama satu tahun terakhir ini, mau tak mau mereka dibuat jadi pesimistis. Betapa tidak, hanya beberapa wali kota/bupati yang tampak sungguh-sungguh menyambut dan melaksanakan kebijakan baru itu. Lihat saja dalam perekrutan calon pegawai negeri (CPNS) bidang kependidikan yang sedang berlangsung, hanya beberapa kota/kabupaten yang menyediakan formasi guru bahasa Jawa di SMA.

Benarlah yang pernah dikatakan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (kala itu) Drs Suwilan Wisnu Yuwono MM bahwa pelaksanaan SK Gubernur tersebut akan banyak bergantung juga pada kearifan ''bendara-bendara'' di kabupaten/kota.

Tentu saja aneka apologi bisa dibuat. Misalnya tentang kuota yang terbatas. Ada juga alasan sudah adanya guru bahasa Jawa untuk jenjang tersebut yang diambilkan dari guru apa saja asalkan mau dan lumayan teteh berbahasa Jawa, toh mereka sudah dikarbit menjadi guru bahasa Jawa.

Jika alasan kedua yang benar-benar dijadikan sebagai pijakan, bagi mereka yang bertahun-tahun dipersiapkan sebagai guru bahasa Jawa, harapan yang membuncah selama ini tak lebih dari pepesan kosong belaka. Sebuah ironi besar jika yang terlibat dalam pengarbitan itu justru mereka yang selama ini dengan bersusah payah mendidik mahasiswa selama bertahun-tahun atas dasar standar kompetensi yang akuntabel.

Kolaborasi akademisi dengan birokrat pendidikan itu bukan saja menutup peluang mahasiswa didikannya, tetapi sekaligus melecehkan kebanggaannya sendiri: membelajarkan mahasiswa secara regulatif yang memiliki akuntabilitas akademik.

Di sinilah, teguran simpatik yang disuarakan para mahasiswa lewat laku pepe menemukan ruang pembenaran.

Sungguh tak ada lagi yang bisa diharapkan jika pengajaran bahasa Jawa justru ditegakkan dengan lembar kerja siswa yang jauh di bawah standar buku teks yang baik dan disajikan oleh guru yang tidak berkompeten.

Bisa dipastikan, pembelajaran yang tergelar adalah pembelajaran yang miskin visi, tidak menarik, dan membosankan. Itu artinya sama saja dengan membunuh bahasa Jawa di depan generasi muda!

Di tangan guru-guru karbitan yang bisa dipastikan tidak berkompeten, kita tinggal menunggu matinya bahasa Jawa di depan generasi muda. Para pemangku kewenangan pelajaran bahasa Jawa semestinya mendorong dan ikut menjalankan SK Gubernur tersebut dengan baik dan benar. Bukan malah menjadikannya sebagai ajang untuk membuat ''proyek'' asal untung. Teganya!

Namun tiada kata terlambat untuk mengembalikan pelaksanaan SK Gubernur tersebut ''pada jalan yang benar''. Lebih baik ''alon-alon waton' daripada ''kebat kliwat, gancang pincang''. Lebih baik membuat kelas-kelas model lebih dahulu ketimbang melakukan massalisasi. Lebih baik memanfaatkan para ahli madya (lulusan D3) pendidikan bahasa Jawa yang belum terangkat seraya menanti lulusan baru daripada menggunakan mereka yang belum jelas kemampuannya.

Kiranya pesan yang disampaikan para mahasiswa lewat laku pepe bisa dijadikan peringatan bagi pemangku kewenangan pelajaran bahasa Jawa. Jika tetap saja peringatan itu dianggap sebagai angin lalu, bukan tidak mungkin penolakan demi penokan akan kian membesar. (11)

-Sucipto Hadi Purnomo, dosen Pendidikan Bahasa Jawa FBS Unnes dan Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Pendidikan

No comments:

Post a Comment